JAKARTA,POROSINFO – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengeluarkan putusan penting yang mengubah skema pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia. Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menetapkan bahwa pemilu nasional dan pemilu daerah akan digelar secara terpisah, dengan jeda waktu maksimal dua tahun enam bulan.
Putusan ini mengatur bahwa pemilu nasional, meliputi pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI akan dilaksanakan lebih dahulu. Sementara pemilu daerah, seperti pemilihan gubernur, bupati/wali kota, dan anggota DPRD, baru boleh dilangsungkan setelah jeda minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun sejak pelantikan pejabat hasil pemilu nasional.
Ketentuan ini berdampak langsung pada masa jabatan anggota DPRD. Berdasarkan Pasal 102 ayat (4) dan Pasal 155 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2014, masa jabatan anggota DPRD berakhir ketika anggota baru mengucapkan sumpah. Karena pemilu daerah berikutnya baru akan berlangsung pada 2031, maka anggota DPRD hasil Pemilu 2024 secara otomatis akan menjabat lebih dari lima tahun, melebihi dua tahun dari masa jabatan normal.
Menanggapi putusan tersebut, berbagai lembaga negara langsung merespons. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menilai perpanjangan masa jabatan anggota legislatif daerah adalah konsekuensi logis dari pemisahan jadwal pemilu. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun segera mengkaji dampak hukum dan administratifnya, serta membuka wacana revisi Undang-Undang Pemilu bersama DPR RI.
DPR, melalui Komisi II, menyatakan kesiapan untuk mendukung opsi perpanjangan masa jabatan DPRD sebagai solusi menghindari kekosongan legislatif.
Sementara itu, untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum 2031, pemerintah berencana menunjuk Penjabat (Pj) kepala daerah.
Di tengah dinamika ini, sejumlah pakar seperti Jeirry Sumampow dan Fahri Bachmid menekankan pentingnya transisi yang konstitusional.
Mereka menyarankan adanya satu kali perpanjangan masa jabatan secara khusus hingga 2031, serta mempertimbangkan amandemen terbatas terhadap Pasal 18 UUD 1945 atau penafsiran eksplisit dari MK untuk mengakomodasi masa transisi tersebut.
Putusan MK ini menjadi tonggak penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sekaligus membuka babak baru dalam penataan sistem pemilu nasional dan daerah yang lebih terukur dan terpisah.